Save Sangihe Island : PT TMS Harus Patuhi Hukum Indonesia
MANADO – Save Sangihe Island (SSI), koalisi rakyat Sangihe yang memperkarakan PT Tambang Mas Sangihe (TMS) menghimbau agar perusahan tersebut menghormati hukum di Indonesia.
” Adalah benar PT TMS perusahan yang sahamnya 70 % Kanada namun tidak bisa seenaknya untuk melakukan aktifitas apalagi setelah turunnya putusan Kasasi MA yang mengharuskan mereka cabut dari sana,” kata inisiator SSI Jull Takaliuang kepada radarmanadoonline.com.
Keluarnya putusan MA, otomatis PT TMS mesti taat aturan yang ada.
” Kita berbicara soal penegakkan hukum bahwa keputusan MA turun maka itu adalah sahih,” kata dia.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, MA memenangkan pihak SSI selaku perwakilan forum rakyat Sangihe atas kehadiran PT TMS.
Putusan Kasasi yang berarti inkrahct atau bersifat tetap tersebut bernomor 650/TUN/2022 tertanggal 12 Januari 2023. Pihak tergugat adalah Menteri ESDM bersama PT TMS.
Sementara SSI sendiri terdiri dari tokoh tokoh masyarakat Sangihe seperti Elbi Pieter, Edelman Makadada dkk termasuk Jull, sang inisiator.
” Sebagai orang Sangihe saya ikut bertanggungjawab juga untuk masa depan Sangihe ke depan. Makanya, langkah penegakan hukum yang kita tempuh ini adalah bentuk keprihatinan kita atas apa yang tengah terjadi,” katanya menambahkan.
Harus diingat lanjut Jull, SSI bukan organisasi rakyat yg barbar.
” Kami tetap akan berjuang mendorong aparat di negara ini bertindak sesuai aturan hukum karena kami prosedur dan resmi,” katanya tegas.
Malah, dia menduga bahwa PT TMS telah melakukan perjanjian kerjasama dengan salah satu lembaga APH di Indonesia yang berkedudukan di Manado.
” Jangan lagi ada akrobat hukum aneh yang berpotensi melanggar hukum. Misalnya adanya MOU antara salah satu lembaga penegak hukum dengan PT TMS,” katanya tegas.
Sebab, tambah dia, institusi penegak hukum harus berdiri diatas hukum dan menjamin rasa keadilan bagi masyarakat yang berjuang untuk sekedar mempertahankan ruang hidupnya.
Sebelumnya, Presiden Direktur PT TMS Terry Filbert mengatakan bahwa mereka akan melakukan MoU dengan Polda terkait keamanan hak hukum mereka dalam operasionalisasi.
Warga Sangihe meradang karena akfifitas lingkungan mereka terancam. Dasar mereka Pasal 23 Undang-Undang nomor 1/2014 yang merupakan perubahan dari undang-undang nomor 27 tahun 2007 menyebutkan pulau adalah untuk konservasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan budi daya laut juga kepariwisataan. Selain itu, usaha perikanan, pertanian organik, peternakan serta pertahanan dan keamanan negara.
Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 menegaskan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, harus dijaga.
” Sementara pulau Sangihe ini dan pulau-pulau kecil masuk dalam konsensi 42 hektare dan pulau-pulau kecil yang seyogyanya harus dijaga kelestariannya,” kata Fritz Ijong staf pengajar di Polnustra Tahuna sebagaimana dilansir sekian media.
Ijin PT TMS sendiri dikeluarkan tahun 2009 namun kajian ketika itu masih belum kuat. Sebab, Amdal dinilai tidak didasarkan pada undang-undang di atas tadi.
” Yang jadi masalah bahwa hingga kini akrifitas PT TMS masih berjalan,” kata Jull. (rma).