Advertisement
ArtikelHukum dan Kriminal

Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Sulawesi Utara

Alfian Ratu bersama Dr. Aswanto, SH. MSI, DFM. (Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi).

Oleh: Dr. ALFIAN RATU, SH. MH

(Pengamat Hukum, Advokat/Konsultan Hukum)

A. LATAR BELAKANG

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia pada 27 November 2024 merupakan salah satu agenda besar dalam proses demokrasi di Indonesia. Pilkada ini melibatkan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di sejumlah daerah di Indonesia. Pilkada memiliki peran penting karena kepala daerah terpilih akan memegang peran signifikan dalam mengelola pemerintahan daerah, mencakup kebijakan pembangunan, pengelolaan anggaran, pelayanan publik, hingga penanggulangan isu sosial dan ekonomi di tingkat lokal.

Secara khusus, Pilkada di Sulawesi Utara telah melahirkan pemimpin baru, Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Utara, yang dipilih oleh masyarakat Sulawesi Utara dengan total suara sah sebesar 539.039 (lima ratus tiga puluh sembilan ribu tiga puluh sembilan). Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Utara, melalui Keputusan KPU Nomor 866 Tahun 2024 tanggal 7 Desember 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2024, menetapkan MAYJEN TNI (PURN) YULIUS SELVANUS, SE sebagai Gubernur dan Dr. JOHANNES VICTOR MAILANGKAY, SH. MH sebagai Wakil Gubernur periode 2025-2030.

Dalam kampanyenya, pasangan yang dikenal dengan sebutan YSK Victory ini mengusung salah satu komitmen utama untuk memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Komitmen ini bahkan tercantum sebagai poin pertama dalam delapan misi prioritas pasangan tersebut, sebagai bagian dari reformasi hukum dan birokrasi demi mewujudkan visi menuju Sulawesi Utara yang maju, sejahtera, dan berkelanjutan di Gerbang Pasifik. Alhasil, pasangan Mayjen (Purn) Yulius Selvanus, SE dan Dr. Johannes Victor Mailangkay, SH. MH terpilih sebagai pemenang Pilkada dengan perolehan suara sah sebesar 539.039 suara dari masyarakat Sulawesi Utara.

Cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan sulit tercapai jika korupsi, kolusi, dan nepotisme masih merajalela. Oleh karena itu, demi kepentingan seluruh rakyat Indonesia, pencegahan dan pemberantasan KKN menjadi isu strategis yang memerlukan sinergitas seluruh pemangku kepentingan guna mendukung pencapaian visi Presiden Prabowo Subianto 2024-2029, yakni Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045, dengan salah satu misi utama memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.

Pencapaian visi menuju Sulawesi Utara yang maju, sejahtera, dan berkelanjutan sangat bergantung pada sejauh mana upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan dengan baik. Upaya tersebut bertujuan untuk memperkecil ketimpangan pendapatan, mengurangi kemiskinan, serta meningkatkan tingkat investasi di Sulawesi Utara.

B. PERMASALAHAN

1). Bagaimana Pandangan Masyarakat Sulawesi Utara tentang Korupsi ?

2). Bagaimana Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Sulawesi Utara ?

C. PEMBAHASAN

A. Pandangan Masyarakat Sulawesi Utara Tentang Korupsi

Isu pemberantasan korupsi diterjemahkan melalui penguatan stabilitas penegakan politik, keamanan, dan hukum, dengan penyelenggara negara yang bebas dari KKN sebagai pilar utama dalam setiap langkah pencegahan korupsi. Oleh karena itu, dalam kurun waktu terakhir di tahun 2018, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).

Stranas PK ini merupakan upaya terintegrasi pemerintah sebagai bentuk komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan mengedepankan sinergitas seluruh pemangku kepentingan. Hal ini dilakukan karena korupsi sebagai kejahatan luar biasa tidak dapat diberantas oleh satu pihak saja, mengingat korupsi merupakan produk dari relasi sosial, politik, dan ekonomi yang pincang dan tidak manusiawi.

Bagi masyarakat Sulawesi Utara, pemberantasan korupsi menjadi suatu keniscayaan dan dambaan. Namun, upaya ini memerlukan kerja ekstra, mengingat data dari Badan Pusat Statistik yang dipublikasikan pada 15 Juli 2024 menunjukkan bahwa Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 berada di angka 3,85 pada skala 0 hingga 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian tahun 2023 sebesar 3,92 dan capaian tahun 2022 sebesar 3,93 poin.

IPAK adalah ukuran tingkat perilaku anti korupsi masyarakat Indonesia yang diukur dengan skala 0 hingga 5, di mana semakin mendekati angka 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi. Sebaliknya, semakin mendekati angka 0 menunjukkan bahwa masyarakat semakin permisif atau membolehkan perilaku korupsi.

Berdasarkan data IPAK tahun 2024 dibandingkan dengan tahun 2023 dan 2022, terlihat bahwa masyarakat Indonesia cenderung semakin permisif terhadap perilaku korupsi. Sementara itu, hasil survei yang dikeluarkan oleh Transparency International Indonesia menunjukkan pengukuran risiko korupsi melalui Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Dalam skala IPK, semakin tinggi skor (maksimal 100) menunjukkan risiko korupsi yang rendah, sedangkan semakin rendah skor (minimal 0) mengindikasikan tingginya risiko korupsi.

Data IPK Indonesia sejak tahun 2015 hingga 2024 mengalami fluktuasi, artinya tidak selalu mengalami kenaikan atau penurunan secara konsisten. Berikut adalah data rincinya:

  • Tahun 2015  skor IPK  36,
  • Tahun 2016  skor IPK  37,
  • Tahun 2017  skor IPK  37,
  • Tahun 2018  skor IPK  38,
  • Tahun 2019  skor IPK  40,
  • Tahun 2020  skor IPK  37,
  • Tahun 2021  skor IPK  38,
  • Tahun 2022  skor IPK  34,
  • Tahun 2023  skor IPK  34,
  • Tahun 2024  skor IPK  34,

Data  ini  menunjukkan  penanganan  Korupsi  di  Indonesia  dalam  kurun waktu 10 Tahun, meskipun  ada kenaikan di Tahun 2019, tetapi kemudian mengalami penurunan, bahkan sejak tahun 2020 hingga tahun 2024 penanganan  Korupsi  tidak  berdampak  baik. Berdasarkan pemetaan sektor yang dilakukan  Indonesian  Coruption Wach  (ICW) dalam kurun waktu tahun 2018 – 2023,  korupsi di Indonesia bermuara pada sektor anggaran desa, tranportasi, pemerintah, pendidikan, pertanahan, perbankan, kesehatan, pengairan, sosial kemasyarakatan, pemilu, ketenagakerjaan, olahraga, energi dan listrik, serta perdagangan.  Sedangkan di Sulawesi Utara dalam kurun waktu Tahun 2024 penanganan Perkara Korupsi se Kejaksaan Sulawesi Utara mengalami kenaikan cukup signifikan dibanding  dengan tahun 2023  Sebagai  berikut :

Pada tahap Penyelidikan di tahun 2023 terdapat sebanyak 52 perkara korupsi, sedangkan pada tahun 2024 meningkat menjadi 88 perkara, mengalami kenaikan sebesar 69 persen.

Pada tahap Penyidikan di tahun 2023 terdapat sebanyak 35 perkara korupsi dan pada tahun 2024 mencapai 45 perkara, mengalami kenaikan sebesar 29 persen.

Pada tahap Pra Penuntutan di tahun 2023 terdapat sebanyak 32 perkara korupsi, sementara pada tahun 2024 meningkat menjadi 51 perkara, dengan kenaikan sebesar 42 persen.

Pada tahap Penuntutan di tahun 2023 terdapat sebanyak 36 perkara korupsi dan pada tahun 2024 meningkat menjadi 58 perkara, mengalami kenaikan sebesar 81 persen.

Pada tahap Eksekusi di tahun 2023 tercatat sebanyak 35 perkara korupsi, sedangkan pada tahun 2024 meningkat menjadi 58 perkara, dengan kenaikan sebesar 66 persen.

Total kerugian negara dalam penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan se-Sulawesi Utara mencapai Rp. 44.271.701.087. Untuk pemulihan dan penyelamatan kerugian keuangan negara selama tahun 2024, Kejati Sulut (pada tahap Penyelidikan dan Penyidikan) berhasil memulihkan sebesar Rp. 7.629.518.545, sementara Kajari dan Kacabjari se-Sulawesi Utara mencapai Rp. 11.033.632.650, ditambah dengan aset yang belum ditaksir nilainya.

Total pemulihan dan penyelamatan kerugian keuangan negara selama tahun 2024 oleh Kejaksaan se-Sulawesi Utara (pada tahap Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, dan Eksekusi) mencapai Rp. 18.633.151.195 ditambah aset yang belum ditaksir nilainya, dengan persentase pemulihan dan penyelamatan kerugian keuangan negara di Kejaksaan se-Sulawesi Utara kurang lebih sebesar 42,16 persen.

Berdasarkan data tersebut, permasalahan korupsi berimplikasi langsung pada kepercayaan publik, khususnya masyarakat Sulawesi Utara, terhadap pemerintah, para pemimpin politik, pejabat, serta proses demokrasi. Padahal, kepercayaan publik merupakan syarat utama dalam menciptakan keamanan berinvestasi yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Para investor cenderung takut untuk berinvestasi di daerah dengan tingkat korupsi tinggi, karena korupsi memperlambat kemajuan ekonomi dan menjadi ancaman signifikan bagi iklim investasi yang sehat.

2.  Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Sulawesi Utara

Berbagai penelitian menunjukkan bukti empiris bahwa korupsi akan meningkatkan inefisiensi dalam pengeluaran pemerintah, mengurangi potensi investasi pada suatu daerah yang juga mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi dan ketidakstabilan politik. Selain berdampak terhadap ekonomi, korupsi memengaruhi ketimpangan sosial warga, ketidakseimbangan supply dan demand, eksklusivitas, dan monopoli informasi.

Hal ini terbukti pada ketimpangan yang terjadi di Sulawesi Utara. Pertumbuhan ekonomi selama satu dasawarsa terakhir hanya menguntungkan 20 persen warga terkaya, sementara 80 persen populasi tertinggal di belakang. Meningkatnya kesenjangan standar hidup dan semakin terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang menyebabkan tingkat ketimpangan Sulawesi Utara relatif tinggi. Ketimpangan pendapatan menjadi tidak adil ketika tidak semua orang memiliki peluang awal yang sama karena adanya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu, pencegahan dan pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen dan konsistensi dari pemimpin politik dan pemerintah. Kebijakan hukum, kebijakan alokasi personil, dan kebijakan alokasi anggaran harus mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang didasarkan pada asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) adalah tiga bentuk perilaku yang sering kali ditemukan dalam pengelolaan kekuasaan dan pemerintahan. Ketiga praktik ini merusak sistem administrasi negara, mendorong ketidakadilan sosial, dan memperburuk pembangunan ekonomi serta sosial.

Korupsi merujuk pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok dengan cara yang ilegal atau tidak sah. Dalam konteks pemerintahan, korupsi sering melibatkan pengambilan uang atau sumber daya negara secara tidak sah untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Faktor penyebab korupsi perlu mendapatkan perhatian yang serius, misalnya ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketika terdapat ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan kesempatan, orang-orang yang kurang mampu mungkin merasa terpaksa untuk melakukan tindakan korupsi demi memperbaiki posisi ekonomi mereka.

Selanjutnya, lemahnya penegakan hukum juga menjadi faktor penting. Di negara-negara dengan penegakan hukum yang lemah, pelaku korupsi dapat dengan mudah menghindari hukuman. Pengawasan yang tidak efektif membuat praktik ini sulit diberantas. Tidak kalah pentingnya adalah budaya korupsi, di mana dalam beberapa budaya, korupsi dianggap sebagai kebiasaan atau cara yang umum untuk memperoleh keuntungan. Budaya semacam ini dapat mendorong lebih banyak individu untuk ikut terlibat dalam tindakan korupsi.

Kolusi adalah tindakan kerja sama yang tidak sah antara dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu yang merugikan pihak lain atau bertentangan dengan hukum. Dalam sektor publik, misalnya, kolusi sering terjadi antara pejabat pemerintah dan pihak swasta untuk mengatur kontrak atau kebijakan demi keuntungan bersama. Faktor penyebab kolusi juga beragam, misalnya keuntungan ekonomi. Pejabat yang terlibat dalam kolusi bisa mendapatkan keuntungan berupa uang atau fasilitas dari pihak yang terlibat dalam kesepakatan. Sebagai contoh, perusahaan swasta dapat memberikan suap kepada pejabat untuk memenangkan tender proyek pemerintah.

Kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan pemerintah atau bisnis juga meningkatkan peluang terjadinya kolusi. Tanpa pengawasan yang baik, pihak-pihak yang terlibat bisa bekerja sama untuk menutupi tindakan mereka yang merugikan. Kepercayaan berlebihan antara pihak-pihak terkait, seperti hubungan dekat antara pejabat dan pelaku bisnis, dapat melahirkan kolusi demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Nepotisme adalah tindakan memberikan jabatan, keuntungan, atau perlakuan istimewa kepada kerabat atau keluarga sendiri tanpa memperhatikan kemampuan atau kualifikasi yang seharusnya. Faktor penyebab nepotisme antara lain budaya keluarga, di mana dalam banyak masyarakat yang mengutamakan ikatan keluarga, ada kecenderungan untuk mengutamakan kerabat dalam posisi strategis. Hal ini dapat menciptakan ketidakadilan dalam kesempatan kerja dan pengelolaan sumber daya.

Kepercayaan terhadap keluarga atau teman dekat juga menjadi penyebab nepotisme. Pihak yang berkuasa mungkin merasa lebih nyaman menunjuk keluarga atau teman dekat untuk posisi-posisi tertentu karena merasa lebih percaya dan yakin akan loyalitas mereka, meskipun tidak selalu memenuhi syarat atau kemampuan yang dibutuhkan. Selain itu, kelemahan sistem rekrutmen yang tidak transparan dan tidak berbasis meritokrasi dapat mendorong praktik nepotisme, di mana orang yang tidak berkompeten tetapi memiliki hubungan keluarga dengan pejabat dapat mengakses posisi yang seharusnya tidak mereka tempati.

Ketiga praktik ini sering kali terjadi secara bersamaan dan saling terkait. Dalam banyak kasus, korupsi dapat terjadi dalam konteks kolusi, misalnya antara pejabat pemerintah dan pengusaha yang terlibat dalam pengaturan kontrak yang merugikan negara. Kolusi ini, pada gilirannya, bisa didorong oleh nepotisme, di mana pejabat memilih untuk bekerja sama dengan kerabat atau teman dekat dalam melaksanakan proyek-proyek negara, meskipun mereka tidak memiliki kualifikasi atau tidak sesuai dengan standar profesional. Sebagai contoh, dalam sebuah pemerintahan yang korup, pejabat bisa saja memanfaatkan posisi mereka untuk memberikan kontrak kepada perusahaan milik keluarga atau teman dekat mereka (nepotisme), dan dalam prosesnya terjadi pengaturan atau penyalahgunaan wewenang (kolusi) untuk meraup keuntungan bersama.

Penelitian dari Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa salah satu penyebab skor CPI (Corruption Perceptions Index) Indonesia yang rendah adalah karena korupsi politik. Beberapa faktor seperti mewajarkan konflik kepentingan dan gratifikasi, politik berbiaya tinggi, politik uang, pengawasan dan instrumen aturan yang tidak jelas, kaburnya batas antara pejabat dan pengusaha, serta partai politik yang dipelihara oligarki menjadi penyebab utama.

Sementara itu, survei penilaian integritas di Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan skor 72,03 persen pada tahun 2023. Angka tersebut masih berada dalam zona merah atau rentan terjadi korupsi. Oleh karena itu, sangat diperlukan tindakan nyata dari Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara, khususnya bagi Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru terpilih, untuk melahirkan inovasi dan tindakan tegas dalam mencegah dan memberantas korupsi di Sulawesi Utara.

D. KESIMPULAN

Adapun kesimpulannya adalah :

1.Kurang percayanya Masyarakat Sulawesi Utara terhadap Pemerintah Daerah, para pemimpin politik, pejabat-pejabat serta demokrasi. Padahal kepercayaan tersebut menjadi syarat utama dalam keamanan berinvestasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Para Investor memiliki ketakutan pada pemerintah yang berperilaku korup.  Karena korupsi memperlambat kemajuan ekonomi yang menjadi  sebuah  ancaman  bagi  investor.

2.Sangat diperlukan Tindakan activism Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara  untuk  melahirkan  creativity  dan  terrorism dalam  Mencegah  Dan  Memberantas  Korupsi  di Sulawesi  Utara.(**)

Bagaimana Pendapatmu?

Back to top button