Ketika Mesin Mulai Pintar, Apa Masih Ada Tempat untuk Kita?

Tak perlu menjadi pakar teknologi untuk menyadari bahwa kecerdasan buatan (AI) kini sudah menyusup ke mana-mana. Dari rekomendasi video, chat otomatis bank, sampai sistem pengawasan pabrik, AI diam-diam mengambil alih tugas-tugas yang dulu hanya bisa dilakukan oleh manusia. Pertanyaannya, di mana posisi kita, para pekerja di Sulawesi Utara, ketika mesin mulai bisa “berpikir”?
AI bukan lagi konsep masa depan. Ia sudah hadir dan berjalan, bahkan mungkin lebih cepat dari yang kita perkirakan. Laporan The Guardian mengangkat kekhawatiran soal bagaimana AI bisa membuat manusia menjadi tidak relevan. Bukan cuma dalam bidang teknologi tinggi, tapi juga di sektor-sektor yang selama ini jadi sandaran ekonomi masyarakat Sulut: perbankan, industri, pariwisata, hingga pertanian dan sektor informal.
Di sektor industri, misalnya, AI sudah bisa mengendalikan mesin produksi dengan ketepatan yang tidak mungkin dicapai manusia. Dalam dunia perbankan, chatbots yang ditenagai AI sudah mulai menggantikan layanan nasabah. Bahkan di pariwisata, sistem otomatis mulai digunakan untuk pengelolaan reservasi hingga panduan virtual di tempat wisata. Lalu, bagaimana nasib mereka yang bekerja sebagai teller, operator mesin, pemandu wisata, atau petani yang menggantungkan hasil panennya pada pola cuaca yang kini juga mulai diprediksi oleh AI?
“AI is better at everything,” begitu bunyi tajuk The Guardian. Mungkin terdengar hiperbolik, tapi ini menggambarkan realitas bahwa kemampuan AI tak lagi sekadar melengkapi—melainkan menggantikan. Di negara maju, perusahaan teknologi sudah menggunakan AI untuk menulis laporan keuangan, membuat perencanaan logistik, bahkan menyunting video. Dunia kerja berubah.
Namun, bukan berarti kita harus pasrah.
Yang menarik dari diskusi soal AI bukan sekadar soal hilangnya pekerjaan, tapi bagaimana manusia bisa beradaptasi. Kita bukan hanya tenaga kerja, kita juga pemikir, pengambil keputusan, dan makhluk yang punya empati. Di sinilah letak harapan kita.
Seperti yang disebutkan oleh pakar AI dalam artikel tersebut, masa depan justru akan sangat membutuhkan manusia yang bisa mengawasi, memahami konteks lokal, dan membangun komunikasi antarsektor—hal-hal yang masih sulit ditiru oleh mesin.
Bayangkan petani di Minahasa yang menggunakan data prakiraan cuaca berbasis AI untuk menentukan waktu tanam. Atau pelaku UMKM di Bitung yang mengandalkan analisis tren pasar dari sistem AI untuk menentukan produk unggulan. AI menjadi alat, bukan pengganti.
Namun untuk sampai ke sana, literasi digital perlu ditingkatkan. Pendidikan vokasi perlu diarahkan pada keterampilan baru. Dan yang tak kalah penting, kita perlu terus membangun rasa ingin tahu—bukan sekadar menerima perubahan, tapi memahami dan mengarahkan perubahan itu.
Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Dan alat itu, sekuat apa pun, tetap memerlukan tangan yang tahu ke mana ia harus diarahkan. Jangan sampai ketika semua sudah bisa dilakukan oleh AI, kita justru kehilangan keyakinan pada potensi diri sendiri.
Mungkin bukan lagi soal siapa yang paling pintar. Tapi siapa yang paling siap untuk berubah. (rpr)