MANADO,Radarmanadoonline–Rektor Unsrat Prof Berty Sompie melalui Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Dr Ralfie Pinasang SH MH, memberikan klarifikasi terkait Isu yang mempertanyakan status Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat).
Klarifikasi ini disampaikan melalui Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Dr Ralfie Pinasang SH MH.
Dalam penjelasannya, Dr Ralfie Pinasang merujuk pada Asas Erga Omnes yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Pasal ini menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final dan mengikat, yaitu langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak dapat diajukan banding atau upaya hukum lainnya.
Namun, Dr Ralfie menegaskan bahwa Asas Erga Omnes tersebut hanya berlaku terhadap materi atau substansi dari putusan MK, dan tidak dapat diterapkan pada masalah lain yang tidak berhubungan langsung dengan putusan MK tersebut.
“Dalam hal ini, isu terkait pemilihan Dekan FKM Unsrat tidak ada kaitannya dengan putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan dalam kasus lain, walau juga tentang persoalan batas usia,” ungkapnya Dr Ralfie Pinasang.
Menurut Dr Pinasang, pemilihan Dekan FKM Unsrat telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Statuta Unsrat, yakni melalui tahapan penjaringan, penyaringan, pemilihan, serta penetapan dan pelantikan.
Lebih dari itu, tegas dia, Selama proses tersebut tidak ada persoalan hukum yang muncul.
Oleh karena itu, keputusan yang diambil terkait pengangkatan Dekan FKM Unsrat tidak terpengaruh oleh putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado yang berkaitan dengan Dekan Fakultas Kedokteran Unsrat.
“Jadi putusan pengadilan yang ada tidak bisa digeneralisasi untuk kasus lain, walau berbicara terkait persoalan yang sama,” pungkasnya.
Dengan demikian, sistem hukum di Indonesia tidak mengenal adanya pengikatan keputusan satu pengadilan terhadap keputusan pengadilan lainnya yang berbicara mengenai substansi yang sama.
Seperti yang dijelaskan Dr Ralfie, sebuah putusan yang berlaku di satu daerah tidak serta-merta berlaku di daerah lain.
Contohnya, jika seorang terdakwa di Provinsi A dijatuhi hukuman 15 tahun, maka terdakwa di Provinsi B yang melakukan kejahatan yang sama tidak otomatis harus dijatuhi hukuman yang sama.
Klarifikasi ini mengingatkan masyarakat bahwa hukum di Indonesia mengutamakan prinsip keadilan dan sesuai dengan mekanisme yang berlaku, salah satunya melalui proses judicial review.
Judicial review adalah hak untuk menguji keabsahan suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan yang lebih tinggi.
Proses ini diberikan kepada lembaga peradilan, seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, untuk memastikan tidak ada peraturan yang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
Pasal 24A ayat 1 dan Pasal 24C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diperkuat dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa apabila ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengujian dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.
Sedangkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Dr. Pinasang menegaskan bahwa putusan Pengadilan yang berkaitan dengan Dekan Fakultas Kedokteran tidak memiliki hubungan hukum dengan pengangkatan Dekan FKM Unsrat.
Hal ini pun menjawab isu yang mempertanyakan soal pemecatan Dekan FKM yang beredar di masyarakat.
Jika ada pihak yang merasa dirugikan, mereka diminta untuk mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung terkait Statuta Unsrat, bukan dengan menggeneralisasi putusan pengadilan yang berlaku untuk semua masalah hukum.
Pihak universitas meminta agar media dan masyarakat memahami dengan benar konteks hukum yang berlaku dan tidak terjebak pada kesimpulan yang keliru.
Klarifikasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua keputusan yang diambil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak ada pihak yang dirugikan oleh pemahaman yang salah. (***)