Advertisement
Politik

Menakar Ambang Batas Pertarungan Pilkada Sulut di Mahkamah Konstitusi

 

Oleh:  Dr. ALFIAN RATU, SH. MH

(Pengamat  Hukum  Konstitusi/Lawyer)

A. LATAR BELAKANG

Menarik dan ketat  itulah fakta yang terjadi pada Pilkada di Sulawesi Utara pada 27 November 2024 tersebut dengan berbagai upaya, usaha dan strategi para kontestan lewat visi, misi dan program yang ditawarkan bagi rakyat Sulawesi Utara. Ketika beberapa Lembaga survey merilis hasil quick count (perhitungan cepat), banyak dinamika yang berkembang bahkan ada salah satu kontestan pasangan calon membuktikan kualitasnya sebagai maestro strategy yaitu Yulius Selvanus dan Victor Mailangkay. Perpaduan TNI dan Sipil ini mampu membuat kaget konstalasi  politik nyiur melambai ini. Seluruh Lembaga survey sebelum Pilkada berlangsung merilis elektabilitas mereka dibawah pasangan konstentan lain, E2L-HJP dan SK-DT. Tapi menurut perhitungan cepat (quick count), justru mereka berada paling diatas. Meskipun hasil akhirnya harus mengacu pada Berita Acara Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara dari KPU  Provinsi Sulawesi  Utara, yang pada akhirnya menentukan masing-masing pasangan calon kontestan akan mengambil sikap untuk menerima atau melanjutkan babak baru pertarungan Pilkada Sulut di Mahkamah Konstitusi. Berbicara mengenai Mahkamah Konstitusi sampai saat ini tetap berwenang mengadili pemilihan kepala daerah yang didasarkan pada  Putusan  Mahkamah Konstitusi  Nomor 85/PUU-XX/2022,  yang menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan  tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat selanjutnya menyatakan  Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu maka penyelesaian sengketa Pilkada pada tahun 2024 ini tetap berada dan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Disatu sisi  masyarakat Sulawesi Utara menanti  seperti  apa  pertarungan jika hasil Pilkada ini sampai diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, tetapi disatu sisi perlu juga diberikan pandangan seperti apa dan bagaimana Penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi, khusus mengenai Ambang Batas Pengajuan Permohonan Penyelesaian Sengketa  Hasil di Mahkamah Konstitusi.

B. PERMASALAHAN

1. Bagaimana ambang batas penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi ?

2. Bagaimana dinamika ambang batas penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi ?

C. PEMBAHASAN

1. Ambang Batas Penyelesaian Sengketa di Mahkamah Konstitusi.

Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita lihat dulu paradigma penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Paradigma penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum  kepala  daerah menurut Alfian Ratu, dalam Disertasinya dengan Judul Paradigma Penyelesaian Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi, menyatakan 9 (Sembilan) alasan : Pertama, Ketersediaan mekanisme penyelesaian sengketa dapat memberikan beberapa implikasi penting, sebagai cara untuk melegitimasi hasil pemilihan, meningkatkan kepercayaan publik pada supremasi hukum serta memberikan kontribusi pada terinstitusionalisasinya norma-norma dan praktek-praktek demokrasi. Kedua, Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh Pasal 24C    ayat (1) UUD 1945 adalah  Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Ketiga, Paradigma pengaturan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pemilihan  mengalami  perubahan yaitu ditangani oleh badan peradilan khusus. Badan Peradilan Khusus dibentuk sebelum pelaksanaan Pemilihan serentak nasional, namun tidak ditegaskan pengaturannya sebagai  badan peradilan  yang  berdiri sendiri, ataupun menjadi peradilan khusus dibawah lingkungan peradilan umum ataupun peradilan tata usaha negara. Sambil menunggu terbentuknya badan peradilan khusus, kewenangan transisional untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan serentak diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Keempat. Penyelesaian sengketa hasil pemilukada yang diterapkan oleh Mahkamah konstitusi untuk kurun waktu 2008 – 2020, yang dibagi kedalam 2 periode yaitu periode sejak  pelimpahan penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah  Konstitusi  sejak  tahun  2008 sampai 2014 dan periode pemberlakuan pemilihan kepala daerah serentak nasional dari tahun 2015 sampai Pilkada pada Desember 2020 dan yang terakhir nanti dilaksanakan pada tahun 2024. Kelima, pergeseran pendekatan yang digunakan oleh MK dalam melaksanakan kewenangan memutus sengketa hasil Pemilu, yaitu dari pendekatan procedural justice ke pendekatan substantive justice. Keenam, sebagai lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi harus terikat dengan hukum acara yang menjadi pedoman dalam menyelesaikan perkara. Bagaimana  penerapan atau implementasi prosedur beracara dan akibat hukumnya dari penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah yang tidak didasarkan atas kesalahan hasil perhitungan suara semata, tetapi juga menilai pelanggaran yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah, serta dikaitkan dengan penegakan hukum yang berkeadilan. Dalam menerapkan hukum acara pemeriksaan atas pelanggaran kualitatif, prinsip pembuktian mana yang diterapkan: pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijsleer) untuk mencari kebenaran materiil (beyond reasonable doubt) seperti peradilan pidana, prinsip preponderance of evidence untuk mencari kebenaran formil (formeel waarheid) seperti peradilan perdata, atau bersandar pada pembuktian bebas terbatas dalam peradilan tata usaha negara. Ketujuh, pada prinsipnya terhadap persoalan pelanggaran selama proses pemilihan umum kepala daerah, sudah ada mekanisme penyelesaian diluar peradilan sengketa hasil. Namun, Mahkamah Konstitusi menyatakan, perselisihan dimaknai sebagai bukan hanya sebagai masalah kuantitas rekapitulasi hasil suara saja. Perselisihan juga menyangkut kualitas pemilihan atau quality of election process yang secara materiil telah terjadi pelanggaran ketentuan pemilihan kepala daerah. Pelanggaran tersebut berpengaruh pada perolehan suara. Alasan hukum Mahkamah Konstitusi dalam menilai pelanggaran pemilihan umum kepala daerah sebagai pelanggaran Testruktur, Sistematis, Masif dan pelanggaran kualitatif, sehingga dijadikan dasar untuk membatalkan hasil pemilihan. Mahkamah Konstitusi menilai pelanggaran proses yang secara kualitatif mempengaruhi hasil pemilihan umum kepala daerah dalam putusan-putusannya, sehingga petitum dalam putusan yang dikabulkan, tidak sekedar koreksi perhitungan matematis terhadap penetapan suara yang benar, tetapi dapat berupa verifikasi ulang, perhitungan atau pemungutan suara ulang, pemilihan kepala daerah diulang, atau bahkan di diskualifikasi. Kedelapan, persoalan sengketa proses secara administratif atau secara pidana, sepanjang belum dapat diselesaikan lembaga atau peradilan lain sesuai tingkatannya, tetap dapat diselesaikan dalam tahapan sengketa hasil pemilukada dengan menggunakan konsep judicial activism yang bersandar pada keadilan substantive. Judicial activism, sebagaimana dikemukakan  Satybrata Sinha, memiliki dua sisi : hitam putih, yang berbeda_ dan saling berseberangan. Melalui judicial activism, disatu sisi putusan hakim dapat disebut judicial creativity, disisi yang lain dapat pula dikatakan sebagai judicial terrorism. Dinyatakan Kreatif karena mampu menemukan ruang keadilan dari terkungkungnya bunyi pasal-pasal dalam produk perundang-undangan. Dinyatakan teroris dikarenakan putusan tersebut menciptakan ketakutan terhadap para pencari keadilan. Kesembilan, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi terbaru Nomor 85/PUU-XX/2022, Menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Menyatakan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Didalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagaimana dikutip dalam Putusan 85/PUU-XX/2022, sebagai berikut :

[3.21] Menimbang bahwa hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah badan khusus yang pembentukannya diamanatkan oleh Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 adalah suatu badan peradilan. Sebagai suatu badan peradilan, Mahkamah berpendapat keberadaannya harus berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD 1945. Menurut Mahkamah, semua norma mengenai badan/lembaga peradilan diatur dalam satu bab yang sama yaitu Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdiri dari, antara lain, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Rangkaian norma hukum dalam pasal-pasal tersebut mengatur bahwa kekuasaan kehakiman, sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pembatasan dalam UUD 1945 demikian pada akhirnya menutup kemungkinan dibentuknya suatu badan peradilan khusus pemilihan yang tidak berada di bawah lingkungan Mahkamah Agung serta tidak pula berada di bawah Mahkamah Konstitusi. Pilihan yang muncul dari pembatasan konstitusional demikian adalah badan peradilan khusus tersebut harus diletakkan menjadi bagian dari Mahkamah Agung atau menjadi bagian di Mahkamah Konstitusi. Namun mengingat latar belakang munculnya peralihan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah pada beberapa periode sebelumnya, menurut Mahkamah solusi hukum meletakkan atau menempatkan badan peradilan khusus tersebut di bawah Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi bukan pilihan yang tepat dan konstitusional. Apalagi seandainya badan peradilan khusus tersebut direncanakan untuk dibentuk terpisah kemudian diletakkan di bawah Mahkamah Konstitusi, hal demikian membutuhkan pengubahan dasar hukum yang lebih berat mengingat kelembagaan Mahkamah Konstitusi dibatasi secara ketat oleh UUD 1945 dan undang-undang pelaksananya. Pilihan atau alternatif yang lebih mungkin dilaksanakan secara normatif, dan lebih efisien, bukanlah membentuk badan peradilan khusus untuk kemudian menempatkannya di bawah Mahkamah Konstitusi, melainkan langsung menjadikan kewenangan badan peradilan khusus pemilihan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal demikian sejalan dengan 42 amanat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena pemilihan kepala daerah adalah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945.

[3.22] Menimbang bahwa dengan tidak adanya lagi pembedaan rezim dalam pemilihan sebagaimana pertimbangan hukum di atas dan telah dinyatakannya kewenangan badan peradilan khusus menjadi kewenangan Mahkamah. Dari kesembilan alasan diatas, maka salah satunya adalah Mahkamah Konstitusi terikat dengan hukum acaranya. Artinya, MK akan taat Asas Hukum Acara, baik yang ada dalam UU Pilkada maupun dalam Peraturan MK tentang tata beracara perselisihan  hasil pilkada, yang untuk tahun 2024 ini telah dikeluarkan Peraturan MK No. 3  Tahun 2024. Pengaturan  mengenai ambang batas permohonan sengketa Pilkada terdapat didalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, di mana Pasal 158 menyatakan: ayat (1) peserta pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara dengan ketentuan:

a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;

b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;

c. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi;

dan d. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi. Sementara itu, ayat (2) menjadi peserta pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara dengan ketentuan:

a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2% (dua persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan apabila terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota;

c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.00 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota; dan

d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.009 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota. Jika dianalogikan untuk Pilkada Sulawesi Utara yang diketahui penduduk Sulawesi utara pada pertengahan 2024 kurang lebih berjumlah 2.643.125 jiwa. Artinya jika mengacu  pada  Pasal 158 ayat 1 diatas, maka Provinsi Sulawesi Utara lebih dari 2 juta jiwa maka berlaku pasal 158 ayat 1(b), yaitu provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta), pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi. Dengan  kata lain Ambang Batas Pengajuan Perselisihan Suara adalah 1,5% dari total suara sah yang ditetapkan KPU Sulut.  Misalnya, Propinsi  X, memiliki total suara sah  sebesar 1.461.490 atau 100%  suara sah. Selanjutnya  Pasangan  A  mendapatkan  36,86 %  atau  538.717 suara,  Pasangan  B  31,69%  atau  463.195 suara  dan  Pasangan  C  mendapatkan 31,45%  atau  459.578  suara. Maka mengacu ketentuan Ambang Batas diatas maka 1,5% dari total suara sah sebesar 1.461.490 adalah 21.922 suara. Selisih suara antara Pasangan A dan B adalah  538.717 – 463.195 = 75.522 atau sekitar 5,17%. Sedangkan selisih suara antara Pasangan A dan C adalah 538.717 – 459.578 = 79.139 atau sekitar 5,41%. Artinya, Pasangan B dan C, tidak dapat melakukan permohonan penyelesaian sengketa di MK karena terjaring dengan Ambang Batas dan dipastikan Permohonan demikian tidak dapat diterima atau niet onvankelijk verklard.

2. Dinamika  Ambang  Batas  Penyelesaian  Sengketa di  Mahkamah Konstitusi  Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak setingkat Gubernur dan Wali Kota/Bupati ditujukan dalam rangka mengefektifkan dan mengefisienkan jalannya proses pemilihan penyelenggara negara. Kebijakan ini telah disepakati dengan lahirnya UU Pilkada. Pilkada serentak dilakukan secara bertahap sampai dengan pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional tahun 2024. Pelaksanaan Pilkada serentak secara bertahap tersebut dilakukan  sebagai  upaya  rekayasa penyamaan masa jabatan kepala daerah, hal  ini diperlukan karena terdapat disparitas rentang waktu yang cukup tajam di antara 523 daerah provinsi, kabupaten, dan kota yang akan menyelenggarakan Pilkada di masa yang akan datang. Pilkada serentak akan dibagi menjadi tiga gelombang:

a. Gelombang I (pertama) pada 9 Desember 2015 sebanyak 269 daerah.

b. Gelombang II (kedua) akan berlangsung pada tahun 2017 untuk kepala daerah yang habis masa jabatannya pada Juli hingga Desember 2016 dan kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2017.

c. Gelombang III (ketiga) akan dilaksanakan pada tahun 2018 untuk kepala daerah yang habis masa jabatannya pada tahun 2018.

Dalam pelaksanaan Pilkada serentak tersebut, ketentuan Pasal 158 UU Pilkada mengatur electoral law enforcement yang memberikan ambang batas permohonan  dalam  sengketa hasil, ketentuannya persentase 0,5%-2% dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota. Ketentuan ambang batas ini menimbulkan banyak kontrovensi, terutama dari kalangan pencari keadilan (pemohon), bahkan  hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Ketentuan ambang batas sengketa hasil ini dikhawatirkan akan menimbulkan banyak persoalan yang dapat berdampak pada semakin terstruktur, sistematis dan masif pelanggaran Pilkada, serta terancamnya demokrasi dan keadilan substantif dalam Pilkada. Selama  MK  menangani sengketa hasil Pilkada sejak tahun 2015 sampai dengan 2018 terdapat enam perkara sengketa Pilkada yang menyimpangi ketentuan  mengenai  ambang  batas, yakni:

a)  Pilkada Kabupaten Intan Jaya pada perkara Nomor 50/PHP.BUP-XV/2017;

b)  Pilkada Kabupaten Tolikara pada perkara Nomor 14/PHP.BUP-XV/2017;

c)   Pilkada Kabupaten Puncak Jaya pada perkara Nomor 42/PHP.BUP-XV/2017;

d)   Pilkada Kabupaten Kepulauan Yapen pada perkara Nomor 52/PHP.BUP-XV/2017;

e)   Pilkada Kabupaten Mimika pada perkara Nomor 51/PHP.BUP-XV/2018; dan

f)   Pilkada Kabupaten Paniai pada perkara Nomor 71/PHP.BUP-XV/2017;

Dari keenam perkara tersebut, MK menerapkan secara kasuistis ketentuan ambang  batas dengan melihat pada fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Setidaknya terdapat 4 (empat) kriteria yang menjadi alasan MK dalam menyimpangi ketentuan ambang batas. Alasan-alasan tersebut, yakni sebagai berikut :

a).  Penetapan rekapitulasi perolehan hasil suara oleh KPU daerah didasarkan pada  rekapitulasi  yang  belum  selesai  dilakukan.

b). Rekomendasi dari Panwaslu untuk mengadakan penghitungan atau pemungutan suara tidak ditindaklanjuti oleh KPU daerah tanpa pertimbangan yang memadai.

c).  KPU daerah melakukan tindakan subordinasi dengan menolak rekomendasi yang dikeluarkan oleh KPU RI dan KPU Provinsi atau Bawaslu RI dan Bawaslu Provinsi.

d).  Adanya permasalahan yang mendasar dan krusial yang perlu dibuktikan lebih lanjut karena dapat mengakibatkan ambang batas perolehan suara berpotensi menjadi tidak mungkin dihitung atau dinilai.

Berangkat pada penelitian tersebut, pada bagian ini Penulis akan menganalisis perkembangan dinamika pada pelaksanaan penyelesaian sengketa Pilkada tahun 2020. Apakah MK dalam melakukan penyelesaian sengketa Pilkada tahun 2020 masih terdapat alasan lain yang menyimpangi ketentuan ambang batas  Penelitian ini penting dilakukan agar terlihat pola pada kriteria yang digunakan MK dalam memberikan alasan yang digunakan dalam penyimpangan  ketentuan ambang batas pada penyelesaian sengketa Pilkada  tahun  2020.  Selain  itu,  perlu  juga dikaji apakah ditemukan alasan baru  yang  membuat MK melakukan penyimpangan ketentuan ambang batas, atau MK konsisten dan terbatas menggunakan alasan-alasan yang digunakan  sebelumnya  dalam  Pilkada  pada  tahun  sebelumnya. Pada Pilkada tahun 2020, didapatkan beberapa perkara yang juga mengesampingkan  ketentuan ambang batas antara lain sebagai berikut.

a) Pilkada Kota Banjarmasin pada Perkara Nomor 21/PHP.KOT-XIX/2021

Pada perkara Kota Banjarmasin didapatkan kondisi di mana MK mengesampingkan  ketentuan  ambang batas karena adanya kecurangan  dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, termasuk adanya mobilisasi pemilih, dan banyaknya pemilih yang tidak memenuhi syarat. Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK mengambil keputusan untuk mengesampingkan keberlakuan persyaratan formil terkait dengan kedudukan hukum Pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 158 UU 10/2016 terkait dengan ambang batas.

b) Pilkada  Kabupaten  Nabire  pada Perkara  Nomor 84/PHP.BUP-XIX/2021

Pada perkara Kabupaten Nabire, ditemukan fakta di persidangan, bahwa MK mengambil keputusan untuk menyimpangi ketentuan ambang batas karena adanya ketidakwajaran dalam penentuan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dijadikan dasar untuk melakukan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Nabire Tahun 2020. Ketidakwajaran dalam penetapan DPT tersebut, menyebabkan adanya ketidaksinkronan antara jumlah penduduk dengan jumlah DPT secara riil yang telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten Nabire dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Nabire tahun 2020. Berkaitan dengan keridakwajaran hasil penyusunan DPT yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Nabire itu, dalam pertimbangannya MK menyatakan tidak dapat menerima validitas hasil penyusunan DPT karena dianggap tidak logis dan janggal. Ketidakwajaran tersebut disebabkan karena jumlah pemilih tetap Kabupaten Nabire sebanyak 103% dari jumlah penduduk Kabupaten Nabire. Hal ini berarti, jumlah DPT dalam Pilkada Kabupaten Nabire lebih banyak dari jumlah penduduk Kabupaten Nabire, khususnya yang mempunyai hak pilih. Selain permasalahan DPT, ditemukan pula pelaksanaan pemilihan di beberapa tempat di Kabupaten Nabire yang dilakukan dengan menggunakan sistem noken/kesepakatan. Padahal berdasarkan PKPU Nomor 810/PL.02.6-Kpt/06/KPU/IV/2019, Kabupaten Nabire tidak termasuk kabupaten yang pemungutan suaranya dapat menggunakan sistem noken, ikat suara, ataupun kesepakatan. PKPU tersebut telah menetapkan secara terbatas pada 12 (dua belas) kabupaten yang dapat melaksanakan pemilihan dengan sistem noken/ikat. Keduabelas kabupaten tersebut, yakni: Yahukimo, Jayawijaya, Nduga, Mamberamo Tengah, Lanny Jaya, Tolikara, Puncak Jaya, Puncak, Paniai, Intan Jaya, Deiyai, dan Dogiyai, sedangkan Kabupaten Nabire tidak termasuk salah satu dari kabupaten tersebut. Terlebih lagi, PKPU terbaru di tahun 2020 hanya membolehkan Kabupaten Yahukimo saja yang dapat melaksanakan Pilkada dengan menggunakan sistem noken atau ikat.

c) Pilkada Kabupaten Yalimo pada Perkara Nomor 97/PHP.BUP-X1X/2021

Pada perkara Kabupaten Yalimo, didapatkan fakta bahwa MK memutuskan untuk menyimpangi ketentuan ambang batas karena adanya pelanggaran terhadap prosedur pemungutan dan/atau rekapitulasi suara berupa pengubahan hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon di Distrik Welarek, serta adanya sabotase logistik pemungutan suara (kotak suara) untuk 29 TPS di Distrik Apalapsili. Penyimpangan tersebut dilakukan MK, meskipun selisih perolehan suara Pemohon dengan peraih suara terbanyak, yaitu Pasangan Calon Nomor Urut 1, melebihi persentase sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 158 ayat (2) huruf a UU 10/2016.  Kemudian, juga ditemukan fakta bahwa MK menemukan indikasi adanya pelanggaran pemilihan berupa pengubahan angka perolehan suara pasangan calon untuk Distrik Welarek, dan pelanggaran pemilihan berupa dirampasnya kotak suara (logistik pemilihan) untuk 29 TPS di Distrik Apalapsili, yang mengakibatkan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Yalimo Tahun 2020 tidak terlaksana sebagaimana seharusnya menurut peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pertimbangan hukum mengenai pelanggaran pemilihan di atas yang terkait dengan keterpenuhan ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada, MK menilai pelanggaran yang dilakukan berpengaruh pada keterpenuhan syarat Pasal 158 ayat (2) huruf a, sehingga MK secara kasuistis dapat memutuskan untuk menyimpangi ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU 10/2016.

d)  Pilkada Kabupaten Boven Digoel pada perkara Nomor 132/PHP.BIP-XIX/2021

Pada perkara Kabupaten Boven Digoel, MK menyimpangi ketentuan ambang batas, meskipun terdapat selisih perolehan suara antara Pemohon dengan Pihak Terkait melebihi persentase sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada. Penyimpangan ketentuan ambang batas dilakukan MK karena adanya pelanggaran terhadap proses pencalonan Pasangan Calon dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Boven Digoel Tahun 2020. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada jo Pasal 4 ayat (1) huruf f dan ayat (2a) PKPU 1/2020 jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, telah ditentukan mengenai persyaratan pasangan calon bagi mantan terpidana, yaitu harus telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada proses persidangan ditemukan fakta bahwa keterpenuhan persyaratan pencalonan Bupati atas nama Yusak Yaluwo tidak sesuai dengan pemenuhan masa jeda 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu, didapatkan pula fakta persidangan adanya perbedaan pendapat atau tafsir antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Bawaslu mengenai persyaratan pasangan calon bagi mantan terpidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada jo Pasal 4 ayat (1) huruf f dan ayat (2a) PKPU 1/2020 jo Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019. Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berkesimpulan bahwa penetapan penghitungan perolehan suara sebagaimana termuat dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Boven Digoel Nomor 1/PL.02.06-Kpt/9116/KPU-Kab/I/2021 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Boven Digoel Tahun 2020, tidak dapat dijadikan rujukan bagi MK untuk menerapkan ambang batas selisih perolehan suara antara Pemohon dan Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 UU Pilkada.

e)  Pilkada Kabupaten Sabu Raijua pada Perkara Nomor 135/PHP.BUP-XIX/2021

Pada perkara Kabupaten Sabu Raijua, didapatkan fakta bahwa MK menyimpangi ketentuan ambang batas karena calon Bupati terpilih merupakan warga Negara Amerika Serikat, meskipun diketahui selisih perolehan suara Pemohon dengan peraih suara terbanyak, yaitu Pasangan Calon Nomor Urut 2, melebih persentase sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Piikada. Berkenaan dengan hal tersebut, karena adanya kondisi spesifik dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2020, menyebabkan pemenuhan ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada dikesampingkan atau ditunda keberlakuannya dan akan dipertimbangkan oleh MK bersama dengan pokok permohonan. Dengan demikian, meskipun permohonan tidak memenuhi syarat formil mengenai tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU Pilkada, namun karena adanya kondisi spesifik dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sabu Raijua Tahun 2020, menyebabkan pemenuhan ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf a UU 10/2016 dikesampingkan.

Berdasarkan pada uraian perkara-perkara di atas, dapat disimpulkan bahwa MK mengesampingkan ketentuan ambang batas dengan alasan-alasan antara lain:

1.  adanya fakta hukum yang ditemukan di persidangan berupa kecurangan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, termasuk adanya mobilisasi pemilih, dan banyaknya pemilih yang  yang tidak memenuhi syarat;

2.  adanya fakta hukum yang ditemukan di persidangan berupa ketidakwajaran dalam penentuan jumlah DPT;

3.  adanya fakta hukum yang ditemukan di persidangan berupa penggunaan sistem noken/kesepakatan di daerah yang tidak diperbolehkan menurut Peraturan KPU Provinsi Papua;

4.  adanya fakta hukum yang ditemukan di persidangan berupa  pengubahan hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon dan adanya sabotase logistik pemungutan suara (kotak suara);

5.  adanya fakta hukum yang ditemukan di persidangan berupa pelanggaran terhadap proses pencalonan bagi mantan terpidana ;

6.  adanya fakta hukum yang ditemukan di persidangan megenai kewarganegaraan ganda pada  salah satu pasangan calon.

D.   KESIMPULAN

Dari Artikel ini dapat ditarik Kesimpulan sebagai berikut :

1.  MK akan menegakkan hukum acara sebagaimana yang digariskan oleh undang-undang dan peraturan MK, termasuk didalamnya syarat formil permohonan yang ketat dengan Ambang Batas yang sudah digariskan dalam Pasal 158 UU No. 10 tahun 2016.

2.  MK dapat menyimpangi Ambang Batas, hanya bersifat Kasuistis dan ketat, sepanjang terdapat pelanggaran terhadap keadilan subtantif yang memengaruhi hasil  Pilkada.

Konstitusi, berimplikasi tidak berlakunya ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 yang mengatur keberadaan serta rencana pembentukan badan peradilan khusus pemilihan merupakan conditio sine qua non bagi keberadaan Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016. Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 mengatur tentang lembaga yang untuk sementara diberi kewenangan sebagai/menjadi badan peradilan pemilihan di masa transisi atau di masa ketika badan peradilan khusus pemilihan tersebut belum dibentuk. Inkonstitusionalitas Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 membawa implikasi hilangnya kesementaraan yang diatur dalam Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016, tidak lain karena causa kesementaraan demikian telah hilang. Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan tidak lagi terbatas hanya “sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, melainkan akan bersifat permanen, karena badan peradilan khusus demikian tidak lagi akan dibentuk. Demi memperjelas makna Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang tidak lagi mengandung sifat kesementaraan, maka menurut Mahkamah frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dihilangkannya frasa tersebut Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 selengkapnya harus dibaca “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi”.

[3.23]   Menimbang bahwa dengan dinyatakan inkonstitusional ketentuan Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sepanjang frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” dalam UU 10/2016, maka ketentuan-ketentuan yang lain yang terkait dengan penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah tetap berlaku dan menyesuaikan dengan putusan a quo. 43

[3.24]  Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, telah ternyata dalil Pemohon berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” dalam ayat (3) UU 10/2016 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E, Pasal 24C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Hal ini menjadi suatu pertanda dimulai pergeseran pendekatan yang digunakan oleh MK dalam melaksanakan kewenangan memutus sengketa hasil pemilu, yaitu dari pendekatan procedural justice ke pendekatan substantive justice. Pergeseran ke substantive justice ini juga diikuti dengan pergeseran penilaian alat bukti dalam memeriksa perkara perselisihan hasil pemilu. Pada saat MK masih menggunakan pendekatan procedural justice, penilaian atas kekuatan pembuktian didasarkan pada alat bukti surat atau tulisan, khususnya yang dikeluarkan oleh penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu. Dengan kata lain, MK hanya mengutamakan formalitas alat bukti surat atau tulisan. Dalam perkembangan selanjutnya Ketika terjadi pergeseran pendekatan ke substantive justice maka penilaian atas kekuatan pembuktian didasarkan pada alat bukti surat ataun tulisan beserta keterangan saksi-saksi. Artinya MK menjadikan alat bukti surat atau tulisan dan keterangan saksi-saksi sebagai satu kesatuan pembuktian untuk sampai pada keyakinan hakim dan kesimpulan atas pemeriksaan perkara.

79  Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008 Sengketa Pemilukada Provinsi Jawa Timur Tahun 2008.

80  Putusan MK No. 41/PHPU.D-Vi/2008 merupakan “landmark decision”, karena setelah putusan itulah kemudian banyak permohonan PHPU di MK menggunakan alasan adanya pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif, dalam Ramlan Surbakti dkk, Penanganan Sengketa Pemilu Seri Demokrasi Elektoral, Buku 16, Jakarta : Kemitraan, 2011, him. 30.

81 Menurut Bagir Manan, ultra petita dalam putusan MK dapat dibenarkan sepanjang pemohon mencantumkan permohonan ex aequo et bono (memutus demi keadilan) dalam permohonan pengujian undang-undang tersebut.

82 Putusan MK No. 45/PHPU.D-V11I/2010 Pemilukada Kabupaten Kotawaringin Barat. (**)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button